Jacob Ereste : *Perang Dalam Senyap Melawan Buzzer dan Pembela Oligarki Melalui Media Sosial Berbasis Internet*
Swara Ham Indonesia News,Com
Pada akhirnya perlu juga diceritakan pengalaman pahit yang indah, seperti minum kopi tanpa gula, karena memang sudah saatnya untuk mengendalikan selera yang sudah menjadi bagian dari tradisi sejak semasa anak-anak di kampung dahulu. Masalahnya adalah budaya dalam media sosial yang urakan seperti perilaku para buzzer yang tidak suka dengan ulasan kritis yang disajikan mereka anggap menyerang kenyamanan maupun keamanan majikan mereka yang telah membayar dengan dengan ongkos yang mahal. Untung saja masa tenggang yang cukup telah membuat kebiasaan seperti minum kopi pahit itu telah menjadi bagian dari kebiasaan hidup untuk lebih bersabar tidak ikut emosional terpancing oleh ulah urakan mereka yang mengganggu bahkan sudah berulang kali merusak perangkat sistem media sosial milik saya dengan berbagai cara.
Mulanya mereka menteror dengan mengirimkan gambar-gambar yang seronok dan tidak sopan bahkan cabul. Ada juga cara mereka menteror dengan cara meneruskan berita dan gambar yang hoax dengan narasi yang dibuat dengan sangat meyakinkan. Padahal semua itu hanya jebakan semata supaya kita ikut terpengaruh atau menyebarkannya juga.
Ibarat minum kopi pahit tanpa gula untungnya telah menjadi kebiasaan seperti kebiasaan tuntunan para sufi dalam melakoni pengembaraan spiritual sebagai bagian dari rangkaian ibadah yang tidak perlu mendapat pengawasan dari siapa pun, sebab kegunaan serta manfaatnya adalah untuk dan demi diri sendiri. Maka itu komentar usil mereka tidak pernah mampu membuat panas kuping yang sudah cukup terlatih untuk tidak bergeming dari tohokan para buzzer yang bekerja demi uang itu.
Seperti semasa anak-anak saat di kampung dahulu, kebiasaan meminum kopi saat pagi serta pada waktu menjelang sore telah menjadi kebiasaan umum anak-anak hingga usia dewasa yang memang hidup di lingkungan warga masyarakat petani yang berkebun kopi. Budaya yang telah turun temurun dilakukan ini tampak mulai menyurut pada penghujung tahun 1990, karena petani sangat dipengaruhi oleh kegandrungan baru untuk menanam pohon cengkeh. Baru.kemudisn tahun 2.000 mulai gandrung menanam singkong alias ubi kayu yang relatif lebih cepat bisa segera menghasilkan duit. Artinya, dalam hidup petani pun, tradisi para petani kopi mulai ikut dipengaruhi oleh orientasi materi yang dipicu oleh materialis hingga ikut pula memperenggang jarak tradisi petani dengan tradisi spiritual yang semula sangat kental dalam kehidupan petani. Agaknya, seperti itu pula kehidupan manusia dalam habitat yang lain. Utamanya bagi petani di desa yang bergeser menjadi manusia urban -- meski tetap sulit meninggalkan budaya dan tradisi agraris yang terlanjur mengakar sejak jaman para leluhur hingga menjadi sisa warisan seperti yang tampak menggelayuti manusia di berbagai kota besar Indonesia, termasuk yang ada di Ibu Kota Jakarta sekali pun yang sudah menyandang bergelar sebagai kota metropolitan.
Peralihan budaya petani yang dibawa ke perkotaan di Indonesia sekarang ini pun ditandai oleh bergesernya hudaya agraris atau maritim yang tersuruk dalam budaya industri -- perusahaan -- yang menjadi basis pertumbuhan paham kapitalisme yang terus beranak-pinak melahirkan turunan materialisme hingga neo-liberal. Maka itu berguguranlah nilai spiritual yang harus memupuk dan menyuburkan etika, moral dan akhlak mulia manusia.
Jadi, buzzer yang usil mau menjadi budak pemilik uang untuk mempertahankan posisi, kedudukan atau kekuasaannya itu -- termasuk para pengusaha serta para taipan yang telah memasuki wilayah negara seperti yang disebut oligarki ini -- mempekerjakan para buzzer dalam budaya budak seperti yang berkembang serta dikembangkan oleh budaya industri yang sepenuhnya dengan menggantungkan nasibnya kepada majikan. Sedangkan dalam tradisi maupun budaya petani serta nelayan yang ada ialah kebersamaan -- koperasi serta berdasarkan kerelaan dan bersifat gotong royong. Sehingga semua sistem dan tatanan kerjanya diatur bersama atas dasar kesepakatan dan musyawarah. Sedangkan dalam tradisi maupun budaya industri diatur oleh petunjuk dan perintah dari pihak majikan kepada kaum buruh upahan.
Maka itu percepatan pergeseran dari budaya petani dan nelayan memasuki perkotaan semakin dipercepat oleh budaya pasar yang sepenuhnya untuk memperoleh untung yang sebesar-besar mungkin, lantaran nilai sosial dan spiritual sudah ditinggalkan. Inilah yang menandai percepatan pergeseran budaya materialisme yang meninggalkan budaya dan tradisi spiritualisme yang dahulu sudah mengakar dalam budaya dan tradisi siku bangsa nusantara yang terkenal religius jauh sebelum agama langit datang menghampiri manusia nusantara. Tapi kini semakin jauh tersuruk masuk dalam budaya kapitalistik, ingin cepat, bukan sekedar untuk meninggalkan kemiskinan, tetapi lebih kuat didorong oleh hasrat untuk bisa hidup lebih mewah seperti orang kebanyakan yang ada di kota.
Maka itu suasana kehidupan di perkotaan pun ikut andil mendorong perubahan sikap hidup petani serta nelayan di pedesaan sejak kemerdekaan bangsa Indonesia yang tidak mampu menemukan arah tujuan dari keinginan proklamasi yang dilakukan nyaris satu abad perjalanannya.
Mental budak yang mewarnai wajah buzzer di Indonesia sepenuhnya mengabdi untuk uang. Tak adab sebersit idealisme di dalam rohaninya, kecuali ingin merusak budaya membangun akal sehat melalui media sosial yang kritis untuk menjaga etika, moral dan akhlak manusia Indonesia untuk bersikap dan bertingkah laku yang jujur, adil untuk memuliakan martabat manusia sebagai Khalifatullah di muka bumi.
Paparan ini dibuat sekedar untuk sedikit berbagi pengalaman tentang nilai-nilai spiritual yang terasa dalam upaya menahan diri dari serangan para buzzer setelah berulang kali mengalaminya, sejak dua tahun lalu hingga mencapai puncak saat setelah merilis ulasan tentang masalah masyarakat Pulau Rempang dan kemarin soal Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk-2 (PIK-2) yang marak dengan aksi dan deklarasi GRAO (Gerakan Rakyat Anti Oligarki) yang semula hendak dilakukan di Desa Kohod, Pakuaji pada 8 Januari 2025.
Rencana aksi dan deklarasi GRAO yang dihadang oleh kelompok aksi tandingan di kedua gerbang gerbang Desa Kohod, akhirnya acara GRAO hanya dapat dilakukan di luar gerbang Desa Kohod, di wilayah Kramat, Sukawali, Tangerang, Banten. Tampaknya, akibat dari pemberitaan sebelumnya yang cukup gencar lalu disusul oleh ulasan berikutnya seusai pelaksanaan acara, sejak itu praktis semua saluran komunikasi pribadi -- whatsapp, facebook -- menjadi macet tidak bisa bergerak serta tidak dapat untuk digunakan seperti biasanya, meskipun kemudian telah diupayakan dengan berbagai cara. Yang pasti hikmahnya, kita pun menjadi mengerti bahwa untuk segera mengatasi putusnya informasi, komunikasi dan publikasi lenih lanjut dapat dilakukan dengan cara mengganti nomor kontak sementara yang baru. Walaupun untu sejumlah nomor kontak yang pernah ada terpaksa harus direlakan hilang. Toh, melalui jaringan yang cukup luas, nomor kontak yang hilang itu bisa segera untuk didapatkan kembali, atau bahkan justru bisa menambah luasnya jaringan komunikasi kita berikutnya. Begitulah kesan perang dalam senyap melawan buzzer melalui media sosial berbasis internet di negeri ini.
Banten, 10 Januari 2025
Posting Komentar untuk "Jacob Ereste : *Perang Dalam Senyap Melawan Buzzer dan Pembela Oligarki Melalui Media Sosial Berbasis Internet*"