Jacob Ereste : *Nasib Buruh, Serikat Buruh dan Partai Buruh, Sama Setali Tiga Uang Juga*
Swara Ham Indonesia News,Com
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) buruh terus bertambah utamanya di Jabodetabek (Jakarta, Bogor. Depok, Tangerang dan Bekasi) menyusul kemudian Karawang serta Bandung hingga banyak buruh menekuni jasa pengantar barang dan orang, sekedar untuk bertahan hidup bersama anak istri dan anggota keluarga yang menjadi tanggungan.
Karena itu -- dimana-mana -- penjaja jasa pengantar atau Ojek dan Gojek -- memenuhi jalan raya maupun tempat mangkal seperti stasiun kereta maupun terminal bus dan hampir di hampir setiap ujung jalan.
Peluang kerja yang bersifat mendesak dan sementara ini, dilakukan sambil menunggu peluang kerja lain yang lebih baik dan lebih memberi harapan untuk hidup lebih mapan dan mempunyai jaminan masa depan yang lebih pasti serta dapat mensejahterakan.
Kondisi kerja serupa inilah yang menutupi situasi buruk pada sektor ketenagakerjaan di Indonesia hingga terkesan tidak ada gejolak. Biasanya saksi unjuk rasa ketika kaum buruh banyak terkena PHK, kini nyaris tidak lagi terjadi seperti pada 10 tahun kebelakang membuat gejolak serta merepotkan pemerintah yang memang harus bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja dan mengatasi masalah buruh yang terkena PHK.
Karena bagaimana pun, pengangguran itu akan menjadi beban bagi pemerintah maupun masyarakat sendiri, karena membuat ketimpangan ekonomi nasional akibat produksi tidak selaras dengan konsumsi yang harus ditanggung secara bersama.
Organisasi buruh pun terkesan tak berdaya untuk membangun massa aksi sebagaimana biasanya untuk mengungkapkan masalah yang sedang dihadapi kaum buruh hari ini. Apalagi kemudian soal pemberlakuan UU Cipta Kerja yang termuat secara renteng dalam Omnibus law, seperti tak bergeming untuk tetap diterapkan dalam prakteknya di lapangan.
Biro Pusat Statistik mencatat jumlah pekerja di sektor informal melaju pesat pada lima tahun terakhir, ada 74 09 juta orang (57,27 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Pada tahun 2024 jumlahnya naik menjadi 84,13 juta orang, atau sebesar 59, 17 persen dark total penduduk yang bekerja di Indonesia.
Artinya, jumlah pekerja informal ini jelas menjadi indikator dari kehilangannya lapangan kerja formal, akibat PHK yamg juga diakibatkan oleh banyaknya jumlah perusahaan yang tutup atau hengkang ke luar negeri -- relokasi untuk mencari tempat membayar upah yang lebih rendah. Pada tahun 2021 saja perusahaan yang melakukan relokasi dan pindah ke luar negeri tidak kurang dari delapan perusahaan yang terbilang besar menyerap tenaga kerja.
Masalahnya, di tempat kerja yang baru, terutama perusahaan dari China yang masuk Indonesia justru dibiarkan banyak membawa serta pekerja dari negeri asalnya. Dilema ini menjadi masalah baru bagi buruh maupun organisasi buruh di Indonesia yang semakin tidak berdaya untuk membangun organisasi buruh yang kuat.
Inilah dilema bagi pekerja maupun angkatan kerja Indonesia yang semakin dihimpit oleh tenaga kerja asing. Upahnya pun -- kalau harus disandingkan dengan upah tenaga kerja lokal, cukup membuat kecemburuan dan sentimen yang bisa memicu kerusuhan.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) justru hanya mencatat jumlah korban PHK pada periode Januari-Juni 2024 sebesar 32.064 orang. Meski begitu trendnya tetap melonjak dari periode sebelumnya 26.400 orang. Artinya, tingkat PHK terus naik dari waktu ke waktu. Sehingga diperkirakan bisa mencapai puncak menjelang akhir tahun 2024. Padahal, menurut Mirah Sumirat, jumlah korban PHK yang sesungguhnya diperkirakan dua kali lipat dari jumlah yang tercatat.
Celakanya, kata Thomas Aquino, aktivis buruh yang pernah memiliki anggota hampir 40.000 pada masa Orde Baru di Jakarta Utara menyimpulkan kesadaran kaum buruh memang sangat rentan, meski sudah mendapat pelatihan hingga pendampingan sampai pembelaan di pengadilan, toh ketika sampai pada zona nyaman, organisasi buruh yang telah mengasuh dan melindunginya, pergi begitu saja tanpa rasa berdosa. "Tapi ketika buruh yang bersangkutan menghadapi masalah, dia pun tidak segan-segan untuk kembali bergabung, hingga kemudian setelah merasa nyaman, kembali meninggalkan organisasi buruh.
Kesimpulannya, kaum buruh mau berserikat ketika dalam kondisi dan situasi yang tidak nyaman. Setelah mereka merasa telah nyaman dan terbebas dari ancaman dari tempat kerjanya, organisasi buruh akan mereka tinggalkan", kata Thomas Aquino ketika ngobrol santai di RM. Soto Gubeng Pojok Istana, pada 16 Agustus 2024.
Agaknya, inilah tugas besar Partai Buruh bersama serikat buruh menemukan formula yang baru yang feasible untuk membangun kekuatan bersama melakui partai politik buruh dan organisasi yang mumpuni dengan belajar dari kegagalan berorganisasi dan mengelola partai pada era digital sekarang ini, jelas tidak lagi relevan menggunakan pola lama yang sudah ketinggalan jaman. Setidaknya hanya dengan begitu -- merumuskan kembali tata kelola organisasi buruh untuk kemudian mampu disinergikan dengan partai buruh, jelas memerlukan kerja ekstra keras bersama yang tidak lagi boleh sepihak hanya untuk kepentingan diri sendiri saja.
Jika tidak, maka partai buruh akan mengalami nasib yang sial seperti organisasi buruh yang ditinggal minggat tanpa merasa beban moral ketika dia mampu memasuki zona nyaman. Jadi, partai buruh maupun organisasi buruh, sama saja, ibarat setali tiga uang juga adanya. Jadi di berbagai medan pertempuran yang seharusnya dapat dimenangkan.
Jakarta, 16 Agustus 2024
Posting Komentar untuk "Jacob Ereste : *Nasib Buruh, Serikat Buruh dan Partai Buruh, Sama Setali Tiga Uang Juga*"